Oleh : Eldza Herminia Ramadani
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia
merupakan negara yang memiliki kekayaan keanekaragaman hayati yang tinggi.
Menyadari potensi keanekaragaman hayati yang sangat strategis tersebut,
pemerintah Indonesia berupaya mengembangkan berbagai kebijakan dan peraturan
menyangkut pemanfaatan, perlindungan dan pelestariannya. Pemanfaatan
keanekaragaman hayati telah digunakan untuk memenuhi kebutuhan pangan, papan,
sandang, dan obat-obatan. Kita sepakat bahwa kecukupan pangan misalnya, akan
tergantung pada tersedianya varietas unggul yang berproduksi tinggi dan tahan
cekaman biotik dan abiotik.
Kehidupan
masyarakat adalah sebagai petani, baik itu kaum laki-laki maupun kaum ibu-ibu.
Biasanya kegiatan pertanian dilaksanakan hanya dengan sampai waktu siang atau
setengah hari kemudian ibu-ibu balik untuk makan siang dan istirahat tampa
melakukan kegiatan sampingan setelah pulang dari kebun. Sedangkan lahan
pekarangan yang kosong tidak dimamfaatkan dengan optimal, padahal ini sangat potensial
bila dimamfaatkan dengan optimal dengan menanam tanaman obat-obatan yang
berguna untuk keluarga dan juga bernilai ekonomis sehingga dapat dipasarkan
atau dijual yang pada akhirnya tentu meningkatkan pendapatan petani sebagai
pendapatan sampingan.
Pada
dasarnya varietas unggul itu adalah kumpulan dari keanekaragaman genetik
spesifik yang diinginkan dan dapat diekspresikan. Keanekaragaman genetik
spesifik tersebut ada pada plasma nutfah komoditi yang bersangkutan. Jadi
plasma nutfah adalah keanekaragaman genetik di dalam jenis (Sumarno, 2002).
Sebagai contoh plasma nutfah adalah pisang tanduk, pisang ambon, pisang
lampung, pisang raja bulu; sapi bali, sapi madura; itik mojokerto, itik alabio;
domba garut, domba ekor tipis; ikan mas si Nyonya, ikan mas majalaya (Hasanah,
2004); dan padi rojolele, padi pandanwangi, padi arias, padi hawara bunar, padi
mentik dan lain-lain.
Keanekaragaman
genetik tersebut harus dipertahankan keberadaannya, bahkan harus diperluas agar
supaya selalu tersedia bahan untuk pembentukan varietas unggul. Upaya
mempertahankan keberadaan plasma nutfah adalah konservasi. Konservasi tersebut
secara garis besar terdiri dari konservasi in-situ dan konservasi ex-situ.
Kesediaan yang lestari dari plasma nutfah secara ex-situ dilakukan antara lain
dengan upaya rejuvenasi atau pembaharuan viabilitasnya, sedangkan untuk
memperluas keragaman dapat dilakukan dengan eksplorasi.
1.2. Tujuan
§ Sebagai media belajar praktikan
tentang tanaman obat secara visual
§ Praktikan dapat berbagai jenis
tanaman yang berpotensi dan berkhasiat sebagai obat.
BAB II
TINJAUAN
PUSTAKA
Penggunaan tumbuhan sebagai obat
tradisional umumnya hanya didasarkan atas pengalaman/warisan tanpa mengetahui
kandungan kimianya secara detail. Tumbuhan tersebut jika ditelaah lebih lanjut
mempunyai kandungan kimia aktif biologis. Potensi bahan kimia tersebut dapat
dimanfaatkan dalam bidang kesehatan, pertanian, dan industri. Penelitian dan
penggunaan obat tradisional pada saat ini lebih digalakkan (Chairul dan
Sulianti, 2002). Di bidang kesehatan, telah banyak tumbuhan obat yang diketahui
dengan jelas struktur molekulnya dan digunakan secara global dalam pengobatan
berbagai penyakit, tetapi mengingat terdapat lebih dari 250.000 spesies
tumbuhan tinggi di muka bumi, maka diduga masih banyak obat baru yang dapat
ditemukan dari dunia tumbuhan (Achmad, 1995).
Berbicara mengenai pemanfaatan
plasma nutfah, seseorang dituntut untuk memiliki beberapa pengetahuan untuk
dapat memanfaatkannya. Pemanfaatan plasma nutfah untuk tujuan pembentukan
varietas unggul minimal memerlukan pengetahuan seperti ilmu pemuliaan dan
genetika (Yatim, 1983). Dalam makalah ini akan diulas hal-hal yang berkaitan
dengan pelestarian, pemberdayaan, dan pemanfaatan plasma nutfah.
Manfaat Keanekaragaman Hayati di
Indonesia, Keanekaragaman hayati merupakan anugerah terbesar bagi umat manusia.
Manfaatnya antara lain adalah (1) Merupakan sumber kehidupan, penghidupan dan
kelangsungan hidup bagi umat manusia, karena potensial sebagai sumber pangan,
papan, sandang, obat-obatan serta kebutuhan hidup yang lain (2) Merupakan
sumber ilmu pengetahuan dan tehnologi (3) mengembangkan sosial budaya umat
manusia (4) Membangkitkan nuansa keindahan yang merefleksikan penciptanya.
(Endarwati, 2005)
Teknik konservasi plasma nutfah
secara umum terdiri dari konservasi in-situ dan konservasi ex-situ. Mengacu
kepada Pedoman Pengelolaan Plasma Nutfah (2002) diterangkan bahwa konservasi
in-situ bersifat pasif, karena dapat terlaksana dengan hanya mengamankan tempat
tumbuh alamiah sesuatu jenis. Dengan demikian jenis-jenis tersebut diberi
kesempatan berkembang dan bertahan dalam keadaan lingkungan alam dan habitatnya
yang asli, tanpa campur tangan manusia. Selanjutnya disebutkan bahwa cara kedua
dilakukan dengan lebih aktif, yaitu memindahkan sesuatu jenis ke suatu
lingkungan atau tempat pemeliharaan baru. Keragaman plasma nutfah dapat
dipertahankan dalam bentuk kebun koleksi, penyimpanan benih, kultur jaringan,
kultur serbuk sari, atau bagian tanaman lainnya. Menurut Ford-Llyod dan Jackson
(1986) konservasi plasma nutfah secara ex-situ merupakan cara pelestarian yang
aman dan efisien dan membuat sumber genetik selalu tersedia bagi para pemulia
dan pengguna lainnya.
Pada saat ini, kebun koleksi
merupakan cara paling efektif di Indonesia untuk menyelamatkan dan mempertahankan
keanekaragaman plasma nutfah tanaman. Plasma nutfah tersebut tidak sekedar
dilestarikan asal hidup dan merana, tetapi perlu dipelihara sesuai dengan cara
budidaya untuk masing-masing tanaman. Tanaman koleksi tersebut diamati
pertumbuhannya, diukur semua organ tanaman dan dicatat sifat-sifat morfologinya
berupa data deskripsi varietas. (M. Hasanah, 2004)
Di Indonesia tumbuhan ini telah
digunakan sebagai obat tradisional, baik bagian daun, kulit batang, biji,
maupun bunga. Seduhan daun dapat digunakan untuk mencuci mata yang meradang.
Rebusan kulit batang digunakan untuk mengobati penyakit keputihan dan rematik.
Biji digunakan untuk mengobati kudis, borok, dan penumbuh rambut. Tumbuhan ini
juga dapat digunakan sebagai racun ikan (Burkill, 1935; Govindachari, 1967;
Kaizu et al., 1968; Perry dan Judith, 1980; Heyne, 1987; Lemmens dan
Soerianegara, 1994).Kebun plasma nutfah di Puspitek Serpong dan Cibinong
menekankan pada tumbuhan yang berpotensi ekonomi. Di kebun ini ditanam populasi
jenis-jenis tumbuhan untuk mengoleksi keanekaragaman plasma nutfahnya. Kebun
koleksi khusus seperti Kebun Cukurgondang untuk mangga dan Kebun Tlekung untuk
jeruk dan beberapa tanaman lain tergolong dalam kelompok ini. Arboretum
merupakan koleksi botani yang khusus diisi dengan jenis pepohonan (buah-buahan,
industri, dan perkebunan). Pada umumnya arboretum menampung semua jenis tanaman
tahunan baik yang langka maupun yang telah dibudidayakan dan terkesan arboretum
tersebut sebagai hutan buatan.(Ida Hanarida Somantri, 2004)
Balai Penelitian Hutan yang di
Indonesia memiliki beberapa arboretum yang berisi koleksi karya-karya hutan,
terutama jenis-jenis kayu yang dapat dibudidayakan. Taman hutan raya adalah
arboretum yang diberi fungsi tambahan sebagai suatu tempat rekreasi. Kebun Raja
(bukan kebun raya) adalah penerus budaya bangsa dalam membina paru-paru kota
yang diisi dengan beraneka jenis tumbuhan setempat. Oleh karena itu, Kebun Raja
sangat cocok untuk ditangani oleh propinsi, sehingga pemerintah daerah dapat
memanfaatkan plasma nutfah daerahnya guna berbagai macam keperluan.( Komisi
Nasional Plasma Nutfah. 2002.)
Salah satu zat aktif yang banyak
ditemukan di alam dan juga di tumbuhan adalah glikosida. Glikosida adalah zat
aktif yang termasuk dalam kelompok metabolit sekunder. Secara umum, arti
penting glikosida bagi manusia adalah untuk sarana pengobatan dalam arti luas
yang beberapa diantaranya adalah sebagai obat jantung, pencahar, pengiritasi
lokal, analgetikum dan penurunan tegangan permukaan.
Di antara sekian banyak jenis
tumbuhan obat, terdapat genus Calophyllum (Clusiaceae) yang banyak tumbuh di
kawasan pantai. Genus ini terdiri dari 190 spesies, antara lain: C. inophyllum
Linn. dan C. saulatri Burm F. Beberapa spesies lainnya yang juga banyak dikenal
adalah: C. muscigerum Boerl & Kos., C. pulcherrinum Wall., C. venulasum
Zoll & Mor., dan C. walichianum Planch & Triana (Backer dan Bakhuizen
van den Brink, 1963; Heyne, 1987; Lemmens dan Soerianegara, 1994). Anggota
Famili Clusiaceae ini umumnya mengandung resin, minyak atsiri, steroid, tannin,
triterpen, dan saponin (Heyne, 1987; Govindachari et al., 1967; Burkill,
1935). Belakangan ini ditemukan pula
senyawa yang berkhasiat anti HIV (Human Immunodeficiency Virus) dari tanaman
nyamplung (C.inophyllum) yaitu: inophyllum A-E, inophyllum P, inophyllum G-1,
dan inophyllum G-2.